Home » » Makna Sebuah Kesederhanaan

Makna Sebuah Kesederhanaan


Makna Sebuah Kesederhanaan

*Oleh : Drs. Syahrul Udin

(Ka. Prodi Jurusan B. Indonesia IKIP PGRI Bojonegoro)

Pengantar

Sastra atau lebih khusus puisi adalah sebuah produk kehidupan. Ia mengandung tata nilai sosial, filsafat, religi, pendidikan, dan segala kemungkinan tata nilai yang bertolak dan bersumber pada kehidupan itu sendiri. Hanya saja ia diungkapkan, mungkin secara tersurat, mungkin pula secara tersirat. Oleh karena itu, makna sebuah puisi memiliki berbagai kemungkinan. Sebuah puisi akhirnya bersifat ambiguitas, imajinatif, inventif, dan kontempelatif.

Dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, atau konsepnya seorang penyair harus mampu mempertanggungjawabkan misi atau tendensi yang hendak disampaikan.

George Santayana, seorang filosof, novelis, dan penyair Amerika pernah menyatakan bahwsa sastra (baca : puisi) adalah semacam agama dalam bentuknya yang tidak jelas, tanpa memberi petunjuk tentang tingkah laku yang harus diperbuat pembacanya dan tanpa ekspresi ritual (Suyitno, 1986 : 4). Makna pernyataan tersebut adalah bahwa sastra meskipun tidak secara eksplisit sebenarnya merupakan tuntunan hidup. Hanya saja, ia tidak bersifat dogmatis atau tidak bersifat mendikte. Karena ajaran sastra memang bukan ajaran agama. Sastra hanya mampu berfungsi sebagai penyadar manusia terhadap segala makna kehidupan. Baik ketika manusia berada di hadapan sesamanya maupun ketika ia berhadapan dengan Sang Khalik.

Tentang “Sajak Sederhana Untuk-Mu”

“Sajak Sederhana Untuk-Mu” karya Emha Ainun Najib adalah sebuah puisi yang relatif panjang. Meskipun demikian, kata-kata yang dipilih adalah kata-kata yang sederhana, lugas, dan bermakna jelas. Ia baru memunculkan makna-makna tertentu ketika kata-kata itu berada dalam konteks baris atau bait.

Secara lihatan, puisi tersebut terdiri atas VII bait dan tiap bait terdiri atas 4 baris. Pola tersebut mengingatkan kita pada pola puisi lama, terutama pola pantun atau syair. Baris II terutama, mengikuti pola persajakan syair (a a a a), sedangkan bait-bait lain, V, VI, dan VII mengikuti pola persajakan pantun (aa bb atau ab ab). Dari pengamatan tersebut dapat diungkap bahwa secara umum bentuk (form) puisi tersebut masih menggunakan pola puisi lama atau pola kovensional. Hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa Emha dalam puisinya tersebut masih bersandar pada tradisi.

Meskipun Emha dari segi bentuk masih bersandar pada tradisi, tetapi ia mampu menyodorkan konsep baru dalam makna (meaning) atau isi (content). Puisi tersebut bertemakan “kesederhanaan positif”, sebuah nilai yang hampir tersisihkan dari kehidupan masa kini. Ia dijalin dalam satu lingkup renungan batin yang memunculkan kepuasan estetik. Tanpa kecenderungan menjadi semacam petuah atau khotbah. Ia menyampaikan kepada kita amanat-amanat tentang hakekat dan tiada, tentang tanggung jawab moral dan spiritual, serta eksistensi manusia dalam lingkungan ia hidup dan di hadapkan Khaliknya.

Dalam bait I diungkapkan betapa Emha ingin mempersembahkan sesuatu dengan pikiran, perasaan, dan hasrat yang sederhana. Selanjutnya dalam bait II diungkapkan betapa ia menyadari bahwa sebenarnya eksistensi hidup ini sederhana saja. Hanya saja dalam kesederhanaannya ia tak ingin mengalami kesia-siaan (bait III).

Emha harus bersyukur karena ia tidak silau dengan serba yang gemerlapan. Sebab tidak semua kemewahan itu baik. Tidak semua yang gemerlapan itu bagus. Kadang-kadang hanya kesemuan belaka (bait IV).

Bait V membawa kesadaran manusia bahwa Adam dan keturunannya ini dilepas ke muka bumi adalah sebagai pemimpin. Ia dilepaskan tidak lain untuk menjalani ujian kedewasaan di dalam memahami kebebasannya. Selanjutnya dalam bait VI dan VII manusia diingatkan akan kematian yang pasti akan datang dan manusia tidak bisa memperkirakan saat kedatangannya. Ia akan mati tanpa membawa apa-apa. Secara sederhana pula. Hanya mengingat Tuhannya dan keikhlasan meng hadapi mati yang perlu dipersiapkan. Sebuah proses yang butuh kontempelasi.

Penutup

Seperti judulnya, “Sajak Sederhana Untuk-Mu”, puisi ini sebenarnya amat sederhana. Diksi dan imaji yang ditampilkan amat sederhana. Tapi justru dari kesederhanaan itulah muncul nilai-nilai kehidupan yang dalam. Ia diungkapkan dengan ketulusan dan kepasrahan tapi tidak menggurui. Bahkan pembaca harus lebih banyak intropeksi, lebih banyak belajar dari sebuah makna kesederhanaan.

IKIP PGRI Bojonegoro, November 2010

Bacaan Penunjang

Suyitno, drs., 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta : Hanindita.

Emha Ainun Najib

Sajak Sederhana Untuk-Mu

I. Ingin selalu kepersembahkan untuk-Mu

Sajak-sajak yang sederhana

Pikiran-pikiran yang sederhana

Perasaan-perasaan dan hasrat yang sederhana

II. Sebab hidup ini pun sederhana saja

Aku dilahirkan secara sederhana

Dari rahim ibuku yang sederhana

Dari rahim iradat-Mu yang sederhana

III. Doaku kepada-Mu ialah

Agar Kau bantu aku

Di dalam memenangkan pertarungan

Melawan segala kesia-siaan

IV. Terima kasih bahwa aku merasa jijik

Terhadap cita-cita dunia yang muluk

Dan senantiasa berusaha mengurangi

Semangat terhadap yang serta gemerlapan

V. Kau lepaskan Adam ke bumi

Beserta sejuta anak turunnya

Aku tahu itu untuk menguji

Apakah ia dewasa memahami

VI. Jika nanti aku selesai

Menjalani tugas ini

Kuharap mulutmu tidak kelu

Ketika mengucapkan nama-Mu

VII. Tuhan, ambillah aku

Sewaktu-waktu

Kematianku hendaknya sederhana saja

Orang-orang yang menguburku hendaknya sederhana saja.

Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2011. Media Informasi Kampus IKIP PGRI Bojonegoro - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger